Rabu, 18 Juni 2014

Dafa Rara



Sampai jumpa nanti di perpustakaan :)
Satu bulan ini, selalu kuhabiskan waktuku di perpustakaan bersama Dafa. Dia teman masa kecilku, entah memang ini jalan Tuhan apa hanya kebetulan, tapi kurasa tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semua Allah yang ngatur. Semenjak lulus SD kita sudah kehilangan komunikasi, rumahnya tidak terlampau jauh dari rumahku, dia pindah ke luar jawa karena ayahnya dipindahtugaskan. Ayahnya adalah seorang guru, pengabdiannya sungguh luar biasa.
Dan tepat satu bulan yang lalu, kita dipertemukan di kampus biru ini. Dia memilih fakultas kedokteran, ya memang dari kecil dia selalu menjawab ingin jadi dokter jika ditanya apa cita-citanya. Dan aku, adalah seseorang yang mempunyai cita-cita menjadi guru, seperti ayah Dafa. Dan kau tau, kita juga mempunyai cita-cita lagi, cita-cita sama, yaitu menikah dengan orang yang kita cintai dan mencintai kita. Simple kan.
Memang, jarak fakultas kedokteran dengan fakultas keguruan lumayan jauh, tetapi perpustakaan ini yang menjadi saksi pertemuan kita, setelah enam tahun kita tidak bisa membicarakan cita-cita kita.
14:35..
“Kasian pacarnya, sudah menunggu satu jam yang lalu, neng.”
Itu Pak Agus, dia petugas perpustakaan. Padahal baru satu bulan aku habiskan waktu sisa kuliahku di perpustakaan bersama Dafa, tetapi Pak Agus sudah hafal betul, jadi malu. Apalagi yang beliau tahu adalah kita sepasang kekasih.
“Hey Daf, sudah satu jam menunggu ya? Maaf, ada perlu sebentar tadi sama temen-temen.”
“Nggak papa Ra, apa sih yang nggak buat kamu, enam  tahun aja aku nggakpapa nungguin buat bisa ketemu kamu lagi, apalagi ini cuman satu jam.”
“Ah bisa saja kamu Daf.”
Dafa memang sosok yang penyabar, dia hampir tidak pernah marah. Selalu tidak bisa jika melihat teman perempuannya menangis, dia selalu menjadi penguat.
“Ini, baca deh Ra, bukunya bagus, dari ayah.”
“Ya ampun, satu bulan yang lalu sebelum kita ketemu aku nyari-nyari ni buku Daf, toko buku se Jakarta udah keabisan stok, makasih ya Daf, salam buat ayahmu.”
“Iya Ra, kapan-kapan disuruh main ke rumah sama ayah, ibu juga titip salam buat kamu.”
“Salam baik Dafa, iya kapan-kapan aku sempetin main.”
“Cie yang super sibuknya ngurusin organisasi, jadi bilangnya kapan-kapan, kapan-kapan kalo ada waktu ya Ra?”
“Ah, nggak juga, aku kerja Daf.”
“Oh ya? Dimana Ra?”
“Di toko buku depan kampus, part time. Lumayan lah buat nambah-nambah uang jajan.”
“Kan udah dapet beasiswa buat biaya hidup masih saja kerja buat nambah-nambah?”
“Di tabung Daf, buat lanjut study S2, kadang-kadang juga buat ngirim ibu di desa.”
“Hebat kamu Ra, aku kapan ya?”
“Sudahlah Daf.”
Mulai kuceritakan hal-hal kecil kepada Dafa, hal-hal yang sebenarnya biasa saja, tetapi Dafa selalu mendengarnya, memberiku saran, pesan, dan wejangan-wejangan. Satu bulan ini aku temukan teman yang selalu menjadi penguat seperti saat kecil dulu. Terimakasih Dafa.
Entah, aku jadi kecanduan sama perpustakaan selama aku bertemu denga Dafa, apa istimewanya Dafa? Dia hanya sekedar teman kecilku, baru satu bulan juga kita saling bertatap muka lagi. Rasa-rasanya semangatku itu dia. Masak iya aku jatuh cinta dengannya? Jangan, kumohon, dia hanya teman baikku, kita nyaman seperti ini.
Hari ini, kuputuskan untuk tidak ke perpustakaan, aku memilih pulang lebih awal, bagaimana jika Dafa selalu menunggguku di perpustakaaan? Biarlah, dia bisa baca-baca buku kedokteran atau apa di sana, tanpa harus ada aku di sampingnya, dan Pak Agus pasti akan menebak-nebak, kita marahan atau ada sesuatu yang tidak enak, pasti, kita lihat saja besok.
“Neng, kenapa putus sama mas Dafa?”
Pertanyaan spontan yang keluar dari mulut Pak Agus, putus?
“Kemarin mas Dafa seharian di sini sama perempuan lain, neng.”
Maaf bapak, Dira nggak jawab, hanya tersenyum kecut, maaf. Tenang Ra, Dafa bukan siapa-siapamu, so bukan masalah jika dia seharian sama perempuan lain di perpustakaan. Bukan urusanmu juga Ra, jangan sok cemburu gitu deh. Ah, entahlah.
“Hey Ra? Kemarin kemana seharian nggak nongol di perpustakaan?”
“Sibuk Daf.”
“Kecut banget sih jawabnya?”
“Nggakpapa Dafa, lagian kemarin udah ditemenin kan seharian sama yang lain?”
Dafa hanya meringis, tersenyum ringan, tanpa mau memberitahu siapa dia. Memang sih nggak penting, tapi kan? Tuhan, maaf..lagi-lagi ini bukan urusanku.
Ada apa dengan kamu Dira?
Burung-burung itu, bahagia setiap aku melihatnya, selalu berdua. Dan aku iri dengan mereka. Dua tahun aku sendiri semenjak putus dari Rico. Dan semenjak juga bertemu dengan Dafa aku mulai merindukan saat-saat untuk bersama, bersama siapa? Entah burung, aku belum menemukan jawabannya.
“Aku sakit.”
Baru kuceritakan kepada sepasang burung itu, pesannya tiba di handphoneku. Rico, dia sakit. padahal hampir enam bulan kita kehilangan komunikasi. Ya, walaupun kita udah dua tahun putus, tapi kita selalu menjaga hubungan baik, apalagi aku udah kenal sama keluarganya. Tapi, dia sakit apa?
Baiklah, sore ini sepulang kuliah aku putuskan untuk pergi ke rumah Rico, dan tidak untuk bertemu dengan Dafa di perpustakaan.
Rumahnya jauh, dan ini, motornya Nadin, dia teman SMAku, kita sejurusan, calon guru. Ya, memang dia yang menjadi pendengar setiaku dulu, dia juga menjadi saksi cinta kita selama tiga tahun. Bukan waktu yang sebentar, tiga tahun aku habiskan waktuku bersama Rico, kita selalu belajar bareng, nggak pernah ada waktu untuk sekedar jalan berdua. Dia sosok yang smart, dia selalu mengajariku ini itu, tetapi maaf Rico, akhirnya kamu berada di peringkat bawahku, tetapi kamu tetap hebat. Kenapa kita putus? Dia putuskan untuk melanjutkan studynya di Luar negeri, hebat bukan? Dan kita memilih focus untuk masa depan kita masing-masing. Sampai sekarangpun sebelum dia menghilang selama enam bulan untuk tidak menghubungiku, kita masih sering sharing, belajar bareng, tuker pengalaman, dan banyak lagi.
“Assalamuallaikum.”
“Wallaikumsalam, nak Dira? Lama tidak bertemu, apa kabar?”
“Baik bu, Rico ada?”
“Ada, di kamarnya, dia sakit, tiga bulan dia harus mnerima perawatan yang intensif dari dokter.”
“Sudah lama dia sakit bu?”
“Kurang lebih enam bulan, dan sebulan yang lalu adalah puncaknya.”
Ternyata dia sakit, memang sempat aku kehilangan dia enam bulan yang lalu, sedih. Tidak munafik, memang aku masih sayang dengannya walaupun rasa itu tidak seindah dulu.
Kubuka pintu kamarnya, keadaannya membuatku meneteskan air mata, banyak selang di tubuhnya, banyak alat-alat canggih di samping tempat tidurnya.
“Rico sakit apa bu?”
“Kanker otak.”
“Apa? Kenapa tidak dirawat di rumah sakit saja Bu?”
“Dua bulan dia di rawat di rumah sakit di Singapura, tetapi entah dia memilih untuk di rawat di Rumah.”
Rico adalah anak dari keluarga yang sangat berada, itu juga adalah alasan kenapa aku memilih putus dengannya, aku tidak selevel dengannya, walaupun keluarganya sangat baik dan tidak memandang kasta. Tetapi aku cukup menyadarinya.
“Maaf nak, sebenarnya kemarin Ibu yang mengirim sms, Ibu sedih, Ibu rasa Rico butuh teman untuk dia berjuang. Dia selalu menyebut namamu saat dia tertidur.”
Apa? Rico masih sangat mengingatku? Tuhan, sembuhkan Rico. Jangan biarkan dia sakit separah ini, masa depannya masih sangat jauh. Bantu dia berlari untuk mengejarnya Tuhan, kumohon.
“Buka matamu Rico, ini Dira, ayo belajar bareng lagi.”
Sepuluh menit dia belum juga bangun dari tidurnya, aku menangis, aku putuskan untuk pergi. Tetapi, suara itu, dia sadar, dia menangis.
“Dira?”
“Iya Rico, ini aku, ayo belajar bareng lagi?”
Dia hanya membalasnya dengan tersenyum, sangat manis.
Semenjak hari itu, aku focus merawat Rico, itu permintaan Ibunya. Dan seminggu ini aku hampir tidak pernah bertemu dengan Dafa, apa kabar dia? Keadaan Rico juga perlahan-lahan membaik, selang-selang di tubuhnya sudah mulai dilepas oleh dokter, dan mesin itu sudah dimatikan, kata dokter ini keajaiban, entahlah, Allah yang telah mengaturnya, Terimakasih Tuhan.
Hari ini sebelum ke rumah Rico, aku ingin ke perpustakaan, aku akan meminjam satu dua novel untuk Rico, dia suka sekali membaca novel, dan kebetulan perpustakaan mempunyai koleksi baru untuk novel-novelnya.
Ada Dafa di sana, bersama seorang perempuan. Aku memilih diam dan tidak melihatnya, keperluanku hanya sebentar, mencari novel, menemukannya, dan meminjamnya ke petugas perpustakaan. Ini novelnya ketemu. Dira? Itu suara Dafa memanggil namaku. Aku menoleh, menghampirinya walau hanya sekedar bertukar senyum.
“Kenalin, ini Lisa.”
Dira, dan aku mengulurkan tanganku kepada Lisa, yah..kita sama-sama kenal sekarang.
“Senang bertemu denganmu Dira.”
Aku hanya tersenyum.
“Kemana saja nggak pernah keliatan Ra?”
“Ada kepentingan, maaf Daf aku buru-buru, aku harus pergi sekarang.”
“Tapi Ra, aku rindu.”
“Lisa, aku duluan ya, titip Dafa.”
Apa? Titip? Spontan, maaf. Aku tidak sengaja mengucapkan itu. Dan Dafa, dia merindukanku, itu hanya leluconnya dia saja, biarlah.
“Neng Dira, baru kelihatan?”
Seperti biasanya, Pak Agus selalu ramah memberiku satu dua pertanyaannya.
“Iya Pak.”
Singkat kumenjawabnya, ya aku harus cepat ke rumah Rico.
Rico sudah sehat, dia seperti tidak mempunyai penyakit yang mematikan itu, terimakasih Tuhan.
“Ini.”
“Novel? Makasih Ra, dari perpustakaan kampusmu ya? Kapan-kapan boleh ya aku main ke kampusmu.”
Lagi-lagi, aku hanya tersenyum, perhatianku habis, mereka pergi untuk Dafa dan Lisa yang mungkin sekarang dia masih berada di perpustakaan itu. Maaf Rico. Sepertinya aku mencintai Dafa. Tapi Lisa? Dafa bilang itu temannya, iya teman alias calon kekasihnya. Entahlah.
“Ra, makasih ya. Ternyata kamu obat buat penyakitku. Aku sembuh Ra. Dan sekarang, aku sadar, aku masih menyayangimu..Maaf jika selama enam bulan aku tidak menghubungimu, dan maaf selama satu bulan ini aku selalu merepotkanmu.”
Aku hanya tersenyum, lagi-lagi. Memang, semenjak aku merawat Rico, aku memilih meninggalkan pekerjaanku, dan akibatnya bulan ini aku tidak bisa mengirim uang untuk Ibu di desa. Aku titipkan keluargaku kepada Allah.
Sudahlah Rico, senang bisa menjadi penyembuh lukamu, aku baik-baik saja, aku tidak merasa direpotkan olehmu, dan selamat atas kesembuhanmu, aku bahagia.
Hari ini, pagi menyeruak keindahan di atas daun-baun yang basah oleh embun, selamat pagi Dafa, sosok yang aku tinggalkan di perpustakaan selama satu bulan kemarin, dia sudah memiliki teman di sana, selamat.
Banyak tugas yang harus diselesaikan, banyak RPP yang harus dicintai, yah tugas seorang guru adalah membuat rencana pelaksanaan pembelajaran, dia yang akhir-akhir ini membuat mahasiswa galau, pusing, dan frustasi mungkin. Sebenarnya mudah jika kita bisa mencintainya, maka belajarlah mencintainya teman-teman.
Di gedung laboratorium aku melihat Dafa dari kejauhan memasuki gedung perpustakaan, dia ada di sana. Aku merindukannya.
“Selamat siang neng. Mas Dafanya baru saja masuk.”
Lagi-lagi petugas ramah itu selalu menyapaku, ramah, menyenangkan.
“Selamat pagi pak. Kita tidak sedang janjian pak, kebutulan saja.”
Tumpukan buku, novel yang sengaja kupinjamkan untuk Rico membuat aku seperti mahasiswa yang kutu buku, semua harus kukembalikan sekarang, dan kuganti dengan buku referensi untuk tugas RPP.
Selamat mencintai RPP.
Kelihatannya Dafa mulai mencintai saat-saat tanpa aku, dia cuek, tidak pernah dia sedingin ini. Hatiku hancur, tapi biarlah, aku akan menyapanya.
“Hey Daf, apa kabar?”
“Baik Ra, tumben ke perpustakaan?”
“Iya, baru sempet Daf.”
“Sesibuk itukah?”
Maaf Daf, aku tak bisa menjawabnya, maafkan aku. Maaf aku harus sibuk lagi dengan tugas-tugasku.
Sebenarnya ini hanya lelucon, baru dua bulan aku bertemu dengannya lagi, satu bulan terakhir aku meninggalkannya untuk Rico, hanya satu bulan kita terbiasa bersama di perpustakaan ini, masih belum banyak cerita yang kita sama-sama sampaikan. Lelucon sekali jika aku menyukainya, mencintainya, dan lelucon sekali jika Dafa juga menyukaiku. Kamu berlebihan Ra.
Satu hari, dua hari, tiga hari, satu minggu, satu bulan, aku terbiasa lagi tanpa Dafa, teman kecilku. Dafa juga sepertinya mulai menyukai dunianya bersama Lisa, perempuan yang dia kenalkan denganku dua bulan kemarin. Aku sering melihat mereka berdua.
Besok, aku akan ajak Rico ke perpustakaan, janjiku jika dia sembuh, dia sudah benar-benar pulih dari sakitnya.
“Selamat pagi neng, ini ada titipan.”
Sepucuk surat? Dari siapa? Selama ini belum pernah ada orang yang kelihatannya keberatan dengan keberadaanku di sini. Sudahlah.
“Terimakasih pak.”
Aku memasuki perpustakaan, bersama sosok laki-laki yang memakai jaket hitam dan celana jins panjang, dia kelihatan tampan hari ini.
Tidak ada Dafa di sana, syukurlah, aku tidak perlu menjelaskan bersama siapa aku datang, lagian apa urusannya sampai Dafa sok kepo tentang urusanku, memang ada hubungan apa kita?
“Ra, surat dari siapa tadi? Pacarmu? Kenapa tidak dibuka? Nanti kalau pacarmu lihat kita gimana Ra?”
“Nggak tau, biar nanti saja dibukanya, nggak mood saja. Sudahlah Rico, nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita akan baik-baik saja, dan tidak akan ada apa-apa.”
Sebenarnya perhatianku tidak sepenuhnya untuk memenami Rico di sini, surat itu? Dari siapa?
Satu jam, dua jam, tiga jam, kita harus pulang. Rico harus cek ke dokter siang ini, meskipun sudah dinyatakan membaik, tetapi dia masih harus cek rutin ke dokter untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Aku akan menemaninya.
Surat itu? Aku masih menyimpannya di tas.
“Ra, maafin aku.”
Hanya ada tulisan itu, dari Dafa? Apa maksudnya, ambigu, nggak jelas. Apa iya aku harus membalasnya? Ada apa Ini? Tiba-tiba saja. Entahlah.
Hari ini, kutinggalkan Rico, Dafa, dan surat itu. Aku ingin sendiri, sendiri dengan rasa yang tak pernah aku mengerti. Angin, bantu dan bawa aku terbang. Menuju awan itu, akan kutulis nama Dafa di atas sana. Bukan Rico. Lukisan yang indah di atas, akan kunamai Dara, selalu terbang bersama, setia, sampai kapanpun. Dafa dan Rara. Indah bukan?
Lamunanku buyar, nada-nada itu..siapa yang memainkannya? Burung-burung cantik, berkicau bersama, menggembirakan. Tetapi tidak untuk rasa ini, tidak untuk bersama, tidak akan berakhir bahagia. Tidak, kurasa tidak. Aku mencintainya, tetapi ia? Lagi-lagi. Entahlah.
Surat itu, masih terlihat cantik di atas meja, di bawah lampu belajarku. Tetapi, masih saja aku memikirkan apa maksudnya?
“Perpustakaan, jam dua. Aku tunggu Ra.”
Pesan dari Dafa, setelah berhari-hari ini setelah kedatangan surat itu, ia menghilang bak ditelan monster, ya..monster cantik.
Tidak seperti biasanya, kali ini dunia serasa mau kimat, hidupku rumit, jantungku serasa mau copot, dag dig dug, tidak stabil. Ayolah, seperti hari-hari kemarin kurasa lebih baik. Jangan over Ra, dia hanya Dafa, temanmu seperti kemarin-kemarin.
Tidak ada sapa ramah dari petugas perpustakan hari ini, kata orang yang mengantikannya, beliau lagi sakit. Sayang sekali.
“Hey Daf, sudah lama menunggu?”
Tidak ada jawaban, ia hanya diam. Apa maksudnya?
Berdetik-detik, bermenit-menit, tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulutnya. Dan ia hanya sibuk dengan buku yang dibacanya. Hingga akhirnya.



Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar