Sampai
jumpa nanti di perpustakaan :)
Satu
bulan ini, selalu kuhabiskan waktuku di perpustakaan bersama Dafa. Dia teman
masa kecilku, entah memang ini jalan Tuhan apa hanya kebetulan, tapi kurasa
tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semua Allah yang ngatur. Semenjak lulus
SD kita sudah kehilangan komunikasi, rumahnya tidak terlampau jauh dari
rumahku, dia pindah ke luar jawa karena ayahnya dipindahtugaskan. Ayahnya adalah
seorang guru, pengabdiannya sungguh luar biasa.
Dan tepat
satu bulan yang lalu, kita dipertemukan di kampus biru ini. Dia memilih
fakultas kedokteran, ya memang dari kecil dia selalu menjawab ingin jadi dokter
jika ditanya apa cita-citanya. Dan aku, adalah seseorang yang mempunyai
cita-cita menjadi guru, seperti ayah Dafa. Dan kau tau, kita juga mempunyai
cita-cita lagi, cita-cita sama, yaitu menikah dengan orang yang kita cintai dan
mencintai kita. Simple kan.
Memang,
jarak fakultas kedokteran dengan fakultas keguruan lumayan jauh, tetapi
perpustakaan ini yang menjadi saksi pertemuan kita, setelah enam tahun kita
tidak bisa membicarakan cita-cita kita.
14:35..
“Kasian
pacarnya, sudah menunggu satu jam yang lalu, neng.”
Itu Pak
Agus, dia petugas perpustakaan. Padahal baru satu bulan aku habiskan waktu sisa
kuliahku di perpustakaan bersama Dafa, tetapi Pak Agus sudah hafal betul, jadi
malu. Apalagi yang beliau tahu adalah kita sepasang kekasih.
“Hey Daf,
sudah satu jam menunggu ya? Maaf, ada perlu sebentar tadi sama temen-temen.”
“Nggak
papa Ra, apa sih yang nggak buat kamu, enam
tahun aja aku nggakpapa nungguin buat bisa ketemu kamu lagi, apalagi ini
cuman satu jam.”
“Ah bisa
saja kamu Daf.”
Dafa
memang sosok yang penyabar, dia hampir tidak pernah marah. Selalu tidak bisa
jika melihat teman perempuannya menangis, dia selalu menjadi penguat.
“Ini,
baca deh Ra, bukunya bagus, dari ayah.”
“Ya
ampun, satu bulan yang lalu sebelum kita ketemu aku nyari-nyari ni buku Daf, toko
buku se Jakarta udah keabisan stok, makasih ya Daf, salam buat ayahmu.”
“Iya Ra,
kapan-kapan disuruh main ke rumah sama ayah, ibu juga titip salam buat kamu.”
“Salam
baik Dafa, iya kapan-kapan aku sempetin main.”
“Cie yang
super sibuknya ngurusin organisasi, jadi bilangnya kapan-kapan, kapan-kapan
kalo ada waktu ya Ra?”
“Ah,
nggak juga, aku kerja Daf.”
“Oh ya?
Dimana Ra?”
“Di toko
buku depan kampus, part time. Lumayan lah buat nambah-nambah uang jajan.”
“Kan udah
dapet beasiswa buat biaya hidup masih saja kerja buat nambah-nambah?”
“Di tabung
Daf, buat lanjut study S2, kadang-kadang juga buat ngirim ibu di desa.”
“Hebat
kamu Ra, aku kapan ya?”
“Sudahlah
Daf.”
Mulai
kuceritakan hal-hal kecil kepada Dafa, hal-hal yang sebenarnya biasa saja,
tetapi Dafa selalu mendengarnya, memberiku saran, pesan, dan wejangan-wejangan.
Satu bulan ini aku temukan teman yang selalu menjadi penguat seperti saat kecil
dulu. Terimakasih Dafa.
Entah,
aku jadi kecanduan sama perpustakaan selama aku bertemu denga Dafa, apa
istimewanya Dafa? Dia hanya sekedar teman kecilku, baru satu bulan juga kita
saling bertatap muka lagi. Rasa-rasanya semangatku itu dia. Masak iya aku jatuh
cinta dengannya? Jangan, kumohon, dia hanya teman baikku, kita nyaman seperti
ini.
Hari ini,
kuputuskan untuk tidak ke perpustakaan, aku memilih pulang lebih awal,
bagaimana jika Dafa selalu menunggguku di perpustakaaan? Biarlah, dia bisa
baca-baca buku kedokteran atau apa di sana, tanpa harus ada aku di sampingnya,
dan Pak Agus pasti akan menebak-nebak, kita marahan atau ada sesuatu yang tidak
enak, pasti, kita lihat saja besok.
“Neng,
kenapa putus sama mas Dafa?”
Pertanyaan
spontan yang keluar dari mulut Pak Agus, putus?
“Kemarin
mas Dafa seharian di sini sama perempuan lain, neng.”
Maaf
bapak, Dira nggak jawab, hanya tersenyum kecut, maaf. Tenang Ra, Dafa bukan
siapa-siapamu, so bukan masalah jika dia seharian sama perempuan lain di
perpustakaan. Bukan urusanmu juga Ra, jangan sok cemburu gitu deh. Ah,
entahlah.
“Hey Ra?
Kemarin kemana seharian nggak nongol di perpustakaan?”
“Sibuk
Daf.”
“Kecut
banget sih jawabnya?”
“Nggakpapa
Dafa, lagian kemarin udah ditemenin kan seharian sama yang lain?”
Dafa
hanya meringis, tersenyum ringan, tanpa mau memberitahu siapa dia. Memang sih
nggak penting, tapi kan? Tuhan, maaf..lagi-lagi ini bukan urusanku.
Ada apa
dengan kamu Dira?
Burung-burung
itu, bahagia setiap aku melihatnya, selalu berdua. Dan aku iri dengan mereka.
Dua tahun aku sendiri semenjak putus dari Rico. Dan semenjak juga bertemu
dengan Dafa aku mulai merindukan saat-saat untuk bersama, bersama siapa? Entah
burung, aku belum menemukan jawabannya.
“Aku
sakit.”
Baru
kuceritakan kepada sepasang burung itu, pesannya tiba di handphoneku. Rico, dia
sakit. padahal hampir enam bulan kita kehilangan komunikasi. Ya, walaupun kita
udah dua tahun putus, tapi kita selalu menjaga hubungan baik, apalagi aku udah
kenal sama keluarganya. Tapi, dia sakit apa?
Baiklah,
sore ini sepulang kuliah aku putuskan untuk pergi ke rumah Rico, dan tidak
untuk bertemu dengan Dafa di perpustakaan.
Rumahnya
jauh, dan ini, motornya Nadin, dia teman SMAku, kita sejurusan, calon guru. Ya,
memang dia yang menjadi pendengar setiaku dulu, dia juga menjadi saksi cinta
kita selama tiga tahun. Bukan waktu yang sebentar, tiga tahun aku habiskan
waktuku bersama Rico, kita selalu belajar bareng, nggak pernah ada waktu untuk
sekedar jalan berdua. Dia sosok yang smart, dia selalu mengajariku ini itu,
tetapi maaf Rico, akhirnya kamu berada di peringkat bawahku, tetapi kamu tetap
hebat. Kenapa kita putus? Dia putuskan untuk melanjutkan studynya di Luar
negeri, hebat bukan? Dan kita memilih focus untuk masa depan kita
masing-masing. Sampai sekarangpun sebelum dia menghilang selama enam bulan
untuk tidak menghubungiku, kita masih sering sharing, belajar bareng, tuker
pengalaman, dan banyak lagi.
“Assalamuallaikum.”
“Wallaikumsalam,
nak Dira? Lama tidak bertemu, apa kabar?”
“Baik bu,
Rico ada?”
“Ada, di
kamarnya, dia sakit, tiga bulan dia harus mnerima perawatan yang intensif dari
dokter.”
“Sudah
lama dia sakit bu?”
“Kurang
lebih enam bulan, dan sebulan yang lalu adalah puncaknya.”
Ternyata
dia sakit, memang sempat aku kehilangan dia enam bulan yang lalu, sedih. Tidak
munafik, memang aku masih sayang dengannya walaupun rasa itu tidak seindah
dulu.
Kubuka
pintu kamarnya, keadaannya membuatku meneteskan air mata, banyak selang di
tubuhnya, banyak alat-alat canggih di samping tempat tidurnya.
“Rico
sakit apa bu?”
“Kanker
otak.”
“Apa?
Kenapa tidak dirawat di rumah sakit saja Bu?”
“Dua
bulan dia di rawat di rumah sakit di Singapura, tetapi entah dia memilih untuk
di rawat di Rumah.”
Rico
adalah anak dari keluarga yang sangat berada, itu juga adalah alasan kenapa aku
memilih putus dengannya, aku tidak selevel dengannya, walaupun keluarganya
sangat baik dan tidak memandang kasta. Tetapi aku cukup menyadarinya.
“Maaf
nak, sebenarnya kemarin Ibu yang mengirim sms, Ibu sedih, Ibu rasa Rico butuh
teman untuk dia berjuang. Dia selalu menyebut namamu saat dia tertidur.”
Apa? Rico
masih sangat mengingatku? Tuhan, sembuhkan Rico. Jangan biarkan dia sakit
separah ini, masa depannya masih sangat jauh. Bantu dia berlari untuk
mengejarnya Tuhan, kumohon.
“Buka
matamu Rico, ini Dira, ayo belajar bareng lagi.”
Sepuluh
menit dia belum juga bangun dari tidurnya, aku menangis, aku putuskan untuk
pergi. Tetapi, suara itu, dia sadar, dia menangis.
“Dira?”
“Iya
Rico, ini aku, ayo belajar bareng lagi?”
Dia hanya
membalasnya dengan tersenyum, sangat manis.
Semenjak
hari itu, aku focus merawat Rico, itu permintaan Ibunya. Dan seminggu ini aku
hampir tidak pernah bertemu dengan Dafa, apa kabar dia? Keadaan Rico juga
perlahan-lahan membaik, selang-selang di tubuhnya sudah mulai dilepas oleh
dokter, dan mesin itu sudah dimatikan, kata dokter ini keajaiban, entahlah,
Allah yang telah mengaturnya, Terimakasih Tuhan.
Hari ini
sebelum ke rumah Rico, aku ingin ke perpustakaan, aku akan meminjam satu dua
novel untuk Rico, dia suka sekali membaca novel, dan kebetulan perpustakaan
mempunyai koleksi baru untuk novel-novelnya.
Ada Dafa
di sana, bersama seorang perempuan. Aku memilih diam dan tidak melihatnya,
keperluanku hanya sebentar, mencari novel, menemukannya, dan meminjamnya ke
petugas perpustakaan. Ini novelnya ketemu. Dira? Itu suara Dafa memanggil
namaku. Aku menoleh, menghampirinya walau hanya sekedar bertukar senyum.
“Kenalin,
ini Lisa.”
Dira, dan
aku mengulurkan tanganku kepada Lisa, yah..kita sama-sama kenal sekarang.
“Senang
bertemu denganmu Dira.”
Aku hanya
tersenyum.
“Kemana
saja nggak pernah keliatan Ra?”
“Ada
kepentingan, maaf Daf aku buru-buru, aku harus pergi sekarang.”
“Tapi Ra,
aku rindu.”
“Lisa,
aku duluan ya, titip Dafa.”
Apa?
Titip? Spontan, maaf. Aku tidak sengaja mengucapkan itu. Dan Dafa, dia
merindukanku, itu hanya leluconnya dia saja, biarlah.
“Neng
Dira, baru kelihatan?”
Seperti biasanya,
Pak Agus selalu ramah memberiku satu dua pertanyaannya.
“Iya
Pak.”
Singkat
kumenjawabnya, ya aku harus cepat ke rumah Rico.
Rico
sudah sehat, dia seperti tidak mempunyai penyakit yang mematikan itu,
terimakasih Tuhan.
“Ini.”
“Novel?
Makasih Ra, dari perpustakaan kampusmu ya? Kapan-kapan boleh ya aku main ke
kampusmu.”
Lagi-lagi,
aku hanya tersenyum, perhatianku habis, mereka pergi untuk Dafa dan Lisa yang
mungkin sekarang dia masih berada di perpustakaan itu. Maaf Rico. Sepertinya
aku mencintai Dafa. Tapi Lisa? Dafa bilang itu temannya, iya teman alias calon
kekasihnya. Entahlah.
“Ra,
makasih ya. Ternyata kamu obat buat penyakitku. Aku sembuh Ra. Dan sekarang,
aku sadar, aku masih menyayangimu..Maaf jika selama enam bulan aku tidak
menghubungimu, dan maaf selama satu bulan ini aku selalu merepotkanmu.”
Aku hanya
tersenyum, lagi-lagi. Memang, semenjak aku merawat Rico, aku memilih
meninggalkan pekerjaanku, dan akibatnya bulan ini aku tidak bisa mengirim uang
untuk Ibu di desa. Aku titipkan keluargaku kepada Allah.
Sudahlah
Rico, senang bisa menjadi penyembuh lukamu, aku baik-baik saja, aku tidak
merasa direpotkan olehmu, dan selamat atas kesembuhanmu, aku bahagia.
Hari ini,
pagi menyeruak keindahan di atas daun-baun yang basah oleh embun, selamat pagi
Dafa, sosok yang aku tinggalkan di perpustakaan selama satu bulan kemarin, dia
sudah memiliki teman di sana, selamat.
Banyak
tugas yang harus diselesaikan, banyak RPP yang harus dicintai, yah tugas
seorang guru adalah membuat rencana pelaksanaan pembelajaran, dia yang
akhir-akhir ini membuat mahasiswa galau, pusing, dan frustasi mungkin.
Sebenarnya mudah jika kita bisa mencintainya, maka belajarlah mencintainya
teman-teman.
Di gedung
laboratorium aku melihat Dafa dari kejauhan memasuki gedung perpustakaan, dia
ada di sana. Aku merindukannya.
“Selamat
siang neng. Mas Dafanya baru saja masuk.”
Lagi-lagi
petugas ramah itu selalu menyapaku, ramah, menyenangkan.
“Selamat
pagi pak. Kita tidak sedang janjian pak, kebutulan saja.”
Tumpukan
buku, novel yang sengaja kupinjamkan untuk Rico membuat aku seperti mahasiswa
yang kutu buku, semua harus kukembalikan sekarang, dan kuganti dengan buku
referensi untuk tugas RPP.
Selamat
mencintai RPP.
Kelihatannya
Dafa mulai mencintai saat-saat tanpa aku, dia cuek, tidak pernah dia sedingin
ini. Hatiku hancur, tapi biarlah, aku akan menyapanya.
“Hey Daf,
apa kabar?”
“Baik Ra,
tumben ke perpustakaan?”
“Iya,
baru sempet Daf.”
“Sesibuk
itukah?”
Maaf Daf,
aku tak bisa menjawabnya, maafkan aku. Maaf aku harus sibuk lagi dengan tugas-tugasku.
Sebenarnya
ini hanya lelucon, baru dua bulan aku bertemu dengannya lagi, satu bulan
terakhir aku meninggalkannya untuk Rico, hanya satu bulan kita terbiasa bersama
di perpustakaan ini, masih belum banyak cerita yang kita sama-sama sampaikan.
Lelucon sekali jika aku menyukainya, mencintainya, dan lelucon sekali jika Dafa
juga menyukaiku. Kamu berlebihan Ra.
Satu
hari, dua hari, tiga hari, satu minggu, satu bulan, aku terbiasa lagi tanpa
Dafa, teman kecilku. Dafa juga sepertinya mulai menyukai dunianya bersama Lisa,
perempuan yang dia kenalkan denganku dua bulan kemarin. Aku sering melihat
mereka berdua.
Besok,
aku akan ajak Rico ke perpustakaan, janjiku jika dia sembuh, dia sudah
benar-benar pulih dari sakitnya.
“Selamat
pagi neng, ini ada titipan.”
Sepucuk
surat? Dari siapa? Selama ini belum pernah ada orang yang kelihatannya
keberatan dengan keberadaanku di sini. Sudahlah.
“Terimakasih
pak.”
Aku
memasuki perpustakaan, bersama sosok laki-laki yang memakai jaket hitam dan
celana jins panjang, dia kelihatan tampan hari ini.
Tidak ada
Dafa di sana, syukurlah, aku tidak perlu menjelaskan bersama siapa aku datang,
lagian apa urusannya sampai Dafa sok kepo tentang urusanku, memang ada hubungan
apa kita?
“Ra,
surat dari siapa tadi? Pacarmu? Kenapa tidak dibuka? Nanti kalau pacarmu lihat
kita gimana Ra?”
“Nggak
tau, biar nanti saja dibukanya, nggak mood saja. Sudahlah Rico, nggak ada yang
perlu dikhawatirkan. Kita akan baik-baik saja, dan tidak akan ada apa-apa.”
Sebenarnya
perhatianku tidak sepenuhnya untuk memenami Rico di sini, surat itu? Dari
siapa?
Satu jam,
dua jam, tiga jam, kita harus pulang. Rico harus cek ke dokter siang ini,
meskipun sudah dinyatakan membaik, tetapi dia masih harus cek rutin ke dokter
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Aku akan menemaninya.
Surat
itu? Aku masih menyimpannya di tas.
“Ra,
maafin aku.”
Hanya ada
tulisan itu, dari Dafa? Apa maksudnya, ambigu, nggak jelas. Apa iya aku harus
membalasnya? Ada apa Ini? Tiba-tiba saja. Entahlah.
Hari ini,
kutinggalkan Rico, Dafa, dan surat itu. Aku ingin sendiri, sendiri dengan rasa
yang tak pernah aku mengerti. Angin, bantu dan bawa aku terbang. Menuju awan
itu, akan kutulis nama Dafa di atas sana. Bukan Rico. Lukisan yang indah di
atas, akan kunamai Dara, selalu terbang bersama, setia, sampai kapanpun. Dafa
dan Rara. Indah bukan?
Lamunanku
buyar, nada-nada itu..siapa yang memainkannya? Burung-burung cantik, berkicau
bersama, menggembirakan. Tetapi tidak untuk rasa ini, tidak untuk bersama,
tidak akan berakhir bahagia. Tidak, kurasa tidak. Aku mencintainya, tetapi ia?
Lagi-lagi. Entahlah.
Surat
itu, masih terlihat cantik di atas meja, di bawah lampu belajarku. Tetapi,
masih saja aku memikirkan apa maksudnya?
“Perpustakaan,
jam dua. Aku tunggu Ra.”
Pesan
dari Dafa, setelah berhari-hari ini setelah kedatangan surat itu, ia menghilang
bak ditelan monster, ya..monster cantik.
Tidak
seperti biasanya, kali ini dunia serasa mau kimat, hidupku rumit, jantungku
serasa mau copot, dag dig dug, tidak stabil. Ayolah, seperti hari-hari kemarin
kurasa lebih baik. Jangan over Ra, dia hanya Dafa, temanmu seperti
kemarin-kemarin.
Tidak ada
sapa ramah dari petugas perpustakan hari ini, kata orang yang mengantikannya,
beliau lagi sakit. Sayang sekali.
“Hey Daf,
sudah lama menunggu?”
Tidak ada
jawaban, ia hanya diam. Apa maksudnya?
Berdetik-detik, bermenit-menit, tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulutnya. Dan ia
hanya sibuk dengan buku yang dibacanya. Hingga akhirnya.
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar