Jumat, 23 Mei 2014

Sebuah cerpen : Senja yang sama



Senja yang Sama, that true
Selamat sore senja. Lagi-lagi indah, tetapi tetap tidak menyampaikan apa-apa. Aku berteriak pelan di dalam hati, senja aku mencintainya. Kapan kita bisa melihat senja bersama? Duduk di pinggir danau, dan menceritakan hal-hal yang indah. Minum susu, makan coklat bersama. Senja, tunggu aku datang bersamanya, kita akan sama-sama berbicara tentangmu. Berbicara tentang keindahan. Beribu keindahan. Jangan berhenti bersabar, karena aku sendiri pun tak tau kapan aku akan datang bersamanya. Beristirahatlah dulu di balik bukit itu, besok kita bertemu lagi.
Pagi yang masih selalu sama, Alhamdulillah..Allah masih memberiku kesempatan untuk hidup hari ini, kesempatan untuk menyiramkan air kebahagiaan untuk orang-orang tersayang, bapak ibukku..yaa walaupun setetes demi setetes. Biar aku cicil untuk membuatkan danau untuk mereka. Danau tetesan keringat kerja kerasku, untuk mereka.
Dimana handphoneku? “Di atas lemari”,


 itu suara Dewi, teman sekamarku. Dia anak kedokteran di Universitas Indonesia. Itu juga kampusku, tapi aku anak bapak sama ibukku, eh salah..anak FKIP. Calon guru gitu, hehe.
“Dew, ngampus jam berapa?”
“Jam 10.00 Ra, kenapa?”
“Oh, nggakpp”
“Kamu nggak ngampus?”
“Males Dew.”
“Kenapa?, gara-gara si Arif ya, masih saja nyimpen perasaannya?”
“Entahlah Dew, aku mau fokus kuliah dulu, nggak mau mikirin dia dulu. Aku mau sering-sering nulis, biar sekali-kali bisa terbit di majalah, nggak cuman mentok di mading kampus. Eh, tapi aku nggak bilang nyerah hlo Dew, He still in my heart, always.”
“Cie, iya deh Ra, sebagai temen juga cuman bisa support kamu aja, yang sabar, jodoh nggak kemana kali.”
“Siap bu Dokter” teriakku.
Ke danau belakang kampus saja. Aku mau nulis di sana. Nulis apa saja? Di sana selalu ada cerita untuk kutulis, cerita tentang senja, lagi-lagi. Monoton, tetapi tetap indah. Senja, tunggu aku.
Tumben banyak orang di sini, orang-orang yang berpasang-pasangan. Aku masih saja sendiri, biarlah..cuek saja. Aku duduk di bawah pohon rambutan, rindang, nggak panas..iyalah kan ini udah sore. Siapin susu kotak sama coklatnya biar nulisnya tambah enak. Mau nulis apa? Menulis tentang puncak kesabaran seseorang yang menunggu cintanya, aku banget itu. Hm.
Tuhan, aku rasa aku sudah berasa di puncak kesabaran, di puncak kelelahan, bolehkah aku menyerah? Mengapa mencintai orang bisa sesakit ini? Tetapi mengapa juga Kau masih memberiku rasa bahagia untuk rasa yang tak kunjung putih ini Tuhan. Aku pikir aku mampu bertahan untuk tidak mengungkapkan, aku rasa aku sudah cukup bahagia dengan diamku, aku selalu bersamanya di dalam doa, seperti malam-malam kemarin. Tetapi darimana dia tahu, aku mencintainya. Rasa-rasanya inginku teriakkan semua isi hati, ingin kupuisikan rasaku untuknya, dan ingin ku senandungkan perasaan ini. Lagi-lagi diam adalah pada akhirnya.
Tetapi kau harus tahu, diam tidak selamanya buruk. Katanya diam itu emas, apa iya? Sakit, sangat sakit. Sesak, sulit untuk bernafas. Sepertinya aku tidak bisa mencintai selainnya. Mengapa? Entahlah..
Senja, selamat berstirahat di balik bukit itu. Mimpi indah ya. Aku pulang dulu, doakan aku, besok datang bersama orang yang aku cinta, kita akan mengantarkan tidurmu di bawah pohon ini. Sama susu kotak dan coklatnya juga.
“Assallamualaikum”
“Wallaikum salam, dari mana Ra? Kamu udah makan?”
“Dari danau belakang kampus Dew, sudah kenyang gara-gara susu kotak sama coklat, kamu aja yang makan”
“Bener? Eh, aku ada titipan nih dari si ketua LPM”
“Arif maksudnya?. Beneran?”
“Iya, ini baca aja sendiri!”
“Dia ngajakin ketemuan, Dew”
“Serius?”
“Iya, ini baca. Di Danau belakang kampus.”
“Cie, akhirnya dia peka juga”
“Belum tentu mau ngomongin hati, Dew. Tapi ya doain aja.”
Nggak bisa tidur, masih saja memikirkan apa yang sebenarnya mau dibicarakan sama si Arif. Jangan kepedean dulu Ra, siapa tau cuman pengen ngobrol aja. Ah, semoga sesuai dengan yang diharapkan. Pukul 00.38, mau sampai jam berapa? Ketemunya juga masih besok sore, besok pagi ada kelas seni music, dosennya killer. Kalo telat bisa-bisa nggak dibolehin masuk kelas tambah-tambah tugas yang segitu banyaknya. Yasudahlah, ayo tidur.


“Ra, bangun..ayo sholat dulu.”
“Iya Dew, sebentar ya, lima menit lagi.”
“Ini udah jam 05.00 Ra, cepet gih bangun, ambil wudhu, kita sholat bareng-bareng.”
“Iya iya bu dokter.”
Sebenere masih ngantuk, belum mau diajak melek ni mata. Tapi kewajiban seorang muslim ya sholat, biar masuk surga. Pagi ini dingin, hanya di pagi ini, kemarin-kemarin nggak. Mungkin mau pergantian musim. Ah.
“Kamu imam ya Ra”
“Kamu aja Dew”
“Yaudah ayok”
Lima menit, hanya lima menit saja bisa beli tiket ke surga, Alhamdulillah.
“Doa apa sih Ra? Khusyu’ banget?”
“Berdoa buat nanti sore, hehehe.”
“Segitunya Ra, nggakpapa deh..semoga dikabulin ya”
“Amin Dew, kamu kuliah jam berapa?”
“Jam tujuh Ra, kenapa?”
“Nebeng ya, motorku lagi di bengkel, mau jalan kaki males ni”
“Manja!”
“Sekali-kali boleh dong, hehe”
“Iya iya bu guru”
“Nah, gitu dong, nanti makan siang aku yang traktir deh”
“O, jadi nyogok nih?”
“Bukan nyogok Dew, tapi balas budi, hehe”
“Iya deh bu guru cantik”
. . . . . . .
“Dew, anak kedokteran ganteng-ganteng ya? Kelihatan smart semua. Tapi anak FKIP juga nggak kalah sih, boleh dong kenalin sama pak dokter ganteng, hehe”
“Terus, si Arifnya gimana Ra, mau diajak ketemuan kok malah mau move on sama pak dokter?”
“Arif mah tetep di hati Dew, kan cuman kenalan, nggak salah dong ya?”
“Iya nggak salah sih Ra”
“Duluan ya Ra, happy study bu dokter, jangan lupa ya..kenalin sama pak dokter ganteng, haha.”
“Dasar kamu Ra, sukanya usil”
. . . . . .
“Ra, pinjem novel yang kemarin kamu baca dong?”
“Ada tuh di kos, besok ya Don”
“Oke”
Itu tadi si Doni, penggila novel, kemana-mana bukannya bawa kamus Matematika, Fisika, Kimia eh ini malah bawa novel. Sayangnya dia nggak bakat nulis, jadi belum tentu dong ya orang yang gila baca itu pinter nulis.
Dosennya ganteng, masih muda, pinter main bermacam-macam alat music, pinter nyanyi, kurang perfect gimana coba? Tapi ati-ati, dosennya nggak jinak, galak, nyeremin. Gantengnya ilang deh. Eh, kok malah ngomongin pak dosen sih. Jangan lupa nanti ada janji sama si Arif, penghuni hati Rara. Haha.
. . . . . .
Senja, aku datang bersamanya. Sabar ya. Nanti aku kenalin.
“Hey Ra? Sudah lama nunggu?”
“Oh, nggak kok, baru saja.”
“Ini, susu kotak sama coklatnya?”
“Kok?”
“Nggak usah heran, kamu suka kan?”
“Iya, suka, makasih, sebenernya ada kepentingan apa Rif?
“Kemarin aku liat kamu nilis di sini, bawa susu kotak sama coklat, makanya aku bawain buat kamu. Kamu suka nulis? Hobby? Biasanya nulis apa? Puisi? Cerpen? Apa mau bikin novel ya?”
“Oh, gitu. Iya suka, hobby sih..nulis apa aja, puisi, cerpen, tapi kalo novel belum, biasanya kalo lagi galau gitu malah banyak inspirasinya, lari deh ke sini, liat senja tu, indah ya.”
“Jadi sering-sering galau aja Ra, biar selalu ada inspirasi buat nulis.”
“Yee, nggak gitu juga kali Rif.”
“Sebenernnya aku mau ngajakin kamu kerjasama, mau nggak bikin tulisan buat majalah kampus bulan ini? Temanya pendidikan, kamu kan calon guru nih?”
“Oh, pendidikan ya? Boleh, aku usahain, ada deadlinenya nggak?”
“Duaminggu ya Ra, sanggup?”
“Oke.”
“Deal ya Ra, jadi sekarang tugasku cuman satu nih.”
“Iya deal, tugas apa?”
“Bikin kamu galau terus biar tulisannya cepet selese, haha.”
“Bolehboleh, asal seneng kamunya.”
“Yee, kok ngambek, becanda Ra.”
Senja, dia yang duduk di sampingku, berbicara denganku, sore ini membahagiakan. Kita cocok nggak? Jangan pergi dulu, temenin kita sampai susu kotakny abis ya.
“BTW, kamu sering ke sini?”
“Sering Rif. Karena sering galau juga, makanya larinya ke sini. Di sini ada yang ngobatin galaunya sih.”
“Oh ya, siapa?”
“Itu, si senja.”
“Emangnya galau kenapa sih Ra? Pasti gara-gara pacarnya ya?”
“Nggak kok, nggak punya pacar?”
“Aah, yang bener? Nanti ilang hlo.”
“Serius.”
“Mau nggak jadi pacarku?”
“Ha?”
“Becanda Ra, serius amat sih, haha.”
“Yee, jail kamu Rif.”
Nggakusah becanda aja Rif, aku mau kok jadi pacarmu, hampir satu tahun aku nyimpen perasaan ini. Tapi sudahlah, duduk bareng ditambah ngobrol kayak gini aku udah seneng kok. Hm.
“Ngelamunin apa Ra?”
“Bukan apa-apa kok, senjanya udah mau istirahat, kamu masih mau di sini?”
“Iya, sebentar lagi Ra.”
“Yaudah, aku duluan ya.”
“Mau dianter?”
“Nggakusah, makasih.”
“Yaudah, ati-ati Ra.”
Senja, maaf aku pulang duluan..sebener e sih masih pengen ngobrol sama Arif, tapi grogi akunya, takut ketauan, hehe. Kamu selamat istirahat ya, jangan lupa berdoa.
“Gimana ketemuannya Ra?”
“Seru.”
“Kok seru doang, nyenengin dong, dia ngomong apa?”
“Iya seneng lah Dew, dia just nyuruh aku bikin tulisan buat majalah kampus bulan ini.”
“Wah, bisa-bisa modus itu Ra?”
“Modus gimana sih, jelas-jelas dia cuman minta tolong.”
“Iya sapa tau aja biar dianya bisa deket sama kamu terus.”
“Nggakboleh kege eran dulu ah Dew, biar ngalir apa adanya aja, ya nggak?”
“Tumben, kok pasrah gitu..biasanya exsaited banget.”
“Nggakpapa Dew, takut kalo cuman PHP, nyakitin, ih nggak mau ah.”
“Oh, moga aja nggak PHP Ra, aku yakin kok, tunggu aja tanggal mainnya, haha.”
“Iya bu dokter.”
Bintang, izinkan sebentar saja, aku ingin bersamamu malam ini, melepas segala resah dalam hati. Apa aku masih boleh berharap? Bantu aku menjawabnya. Kalian indah, kalian selalu bersinar dalam gelap, kalian butuh gelap, aku butuh jawaban. Kunang-kunang itu juga butuh gelap untuk terlihat cantik, ayolah aku hanya butuh jawaban.
“Ra, ada pesan ini”
“Buka aja Dew, dari siapa?”
“Arif Ra.”
“Serius kamu Dew, ah nggak mungkin.”
“Iya, sini deh.”
“Dia dapet nomerku darimana ya?”
“Nggah penting dapet darimana, yang penting dia nyemangatin kamu bikin tulisannya tuh.”
“Iya, buat kepentingan dia Dew, sms apa kek, selamat malem kek, ngingetin jangan lupa maem kek.”
“Sabar Ra, ada saatnya.”
“Iya Dew, iya sabar terus akunya.”
~dew, semangat ya bikin tulisannya J~
Itu pesan pertamanya, lalu pesan apa lagi ya? Jangan lupa makan, mungkin.
“Hey Ra? Mana novelnya?”
“Kamu Don, ini.”
“Eh, kemarin si Arif minta nomer Hp kamu, udah sms?”
“Oh kamu to yang ngasih nomerku ke dia?”
“Nggak boleh ya, maaf Ra.”
“Boleh banget kok Don, haha. Iya, dia udah sms aku.”
“Cie, ada yang lagi pdkt nih.”
“Apaan sih Don, udah ah aku mau ke kelas dulu.”
“Thaks ya Ra, novelnya, tiga hari aku kembaliin.”
“Oke.”
Tumben, semangat banget hari ini kuliahnya, serasa ada harapan yang akan menjadi indah. Apa? Siapa? Arif? Semoga…
~Ra, makan siang bareng yuk, aku tunggu di kantin ya? J~
Tuh, kan panjang umur, Tuhan, terimakasih, semoga ini jawabannya.
“Hey Rif, udah lama nunggu?”
“Lumayan Ra.”
“Aduh, maaf ya, soalnya tadi ada urusan sama dosen, biasalah tugas numpuk-numpuk.”
“Its Oke Ra, mau makan apa?”
“Terserah kamu aja Rif.”
“Btw, udah sampe mana tulisannya?”
(Tuh kan, ngajakin makan cuman mau nanyain tulisan)
“Ra?, kok diem?”
“Eh, iya ini aku udah buat, tinggal dikit kok, besok ya?”
“Cepet banget Ra, kan deadline duaminggu, kok cuman duahari?”
“Kalo bisa diselesein cepet kenapa dibikin lama, iya nggak?”
“Iya Ra, hebat kamu.”
(Just smile, itu caraku bikin kamu seneng Rif. Dengerin hatiku berteriak, aku menyukaimu)
“Bakso?”
“Kenapa Ra, nggak suka sama Bakso ya? Sini biar diganti saja makanannya.”
“Suka banget Rif, makanan favorit.”
“Wah, kok bisa sama Ra? Kapan-kapan boleh dong kita kuliner Bakso keliling Jakarta?”
“Hehe, iya boleh Rif.”
. . . . . . . . . .
~Ra, jangan lupa makan J~
Senja, hanya membaca pesannya, aku bahagia. Dia perhatian ya? Doain aku ya senja, semoga dia nggak mehapein aku. Tapi, sejauh ini aku masih biasa sih sama dia, takut salah mengartikan, jadi ya keep calm aja.
“Hey Ra?”
“Eh, kamu kesini juga Rif?”
“Ini, susu kotak sama coklat?”
“Repot-repot Rif, pasti ini ya sogokannya buat tulisan?”
“Yey, kok sogokan sih Ra, tulus tauk ngasihnya.”
“Cie, makasih ya, sering-sering aja.”
“Maunya kamu Ra.”
“Senja, kamu kenal sama gadis berkerudung yang sekarang duduk di sampingku? Cantik ya?”
“Apaan sih kamu Rif, gombal tren 2014 ya?”
“Haha, keren kan Ra?”
“Nggak, biasa aja.”
“Jahat ya kamu, awas aja.”
“Awas apa, bisa-bisa nggak tak selesein tuh tulisannya, biar majalahmu nggak jadi terbit.”
“Iya-iya Ra, maaf, segitunya. Jadi nyesel gombalin kamu.”
“Satu kosong Rif, hahaha.”
“Ia deh, ngalah sama cewek cantik.”
“Th kan gombal lagi, udah ah, aku mau pulang.”
“Iya sana pulang, ati-ati ya Ra.”
“Oke Rif.”
. . . . . . . .
Bintang, sore ini indah, seindah senja. Dia bilang aku cantik, biar gombal nggakpapa, yang penting aku seneng. Bintang, jaga Arif ya.
~Ra, kamu cantik, dan aku nggak gombal J~
~Ra, jangan terlalu capek, deadlinenya duaminggu kok J~
`iya Rif, keep on fighting kok, selamat beristirahat J`
~iya Ra, terimakasih untuk hari ini, aku bahagia J~
`maksudnya, kok terimakasih sama aku?`
~nggakpapa, nanti juga kamu tau jawabannya J~
Selamat pagi embun, semoga hari ini menyenangkan, aku mau ngasih tulisan sama Arif, doain dia suka sama tulisanku ya.
Kemana kamu Rif? Aku udah keliling kampus kok nggak ketemu-ketemu. Disms juga nggak bales, ditelfon nggak diangkat. Ah, mungkin dia lagi sibuk sama kuliahnnya. Keep positive thinking aja. Ke perpus saja, baca-baca, biar nambah kosa kata.
Nggak focus, just Arif in my brain, nggak tenang, Tuhan ada apa ini?
“Dew, Arif nggak ada kabar nih.”
“Baru satu hari Ra, tenang lah, mungkin dia lagi sibuk sampe nggak mau ada yang ganggu.”
“Dia PHP kan Dew, apa aku bilang.”
“Kamu jangan negative thinking gitu Ra, tenang lah, baru satu hari.”
“Hm, entahlah, pokoknya nggakbisa tenang.”
Satu hari, dua hari, tiga hari, masih nggak ada kabar. Sebenernya apa sih maksudnya? Apa maksudnya susu kotak sama coklat yang dia kasih kemarin-kemarin? Apa maksudnya ngingetin jangan lupa makan? Apa maksudnya ngingetin jangan capek-capek? Apa maksudnya bilang aku cantik? Apa maksudnya bilang terimakasih dan dia bahagia hari itu? Entah Rif, aku nggak tau. Aku cuman mau ngasih tulisan buat majalah kampusmu Rif, cuman itu kok.
~Ra, Arif dirawat di Rumah sakit, empathari yang lalu dia kecelakaan pas mau pulang dari Danau~
Sore itu? Berarti terakhir dia sms, sudah di rumahsakit? Sudah kecelakaan?
Jangan nangis Ra, jangan sedih, Arif baik-baik saja. Pasti.
`gimana keadaan Arif Don?`
~kritis Ra~
Tuhan, jangan biarkan dia kenapa-napa. Peluk dia Tuhan, kuatkan dia. Baru sebentar aku merasakan bahagia dengannya. Aku menyayanginya. Rif, yang kuat ya, kamu pasti sembuh.
“Rif, ini aku Rara, kamu kenapa? Ini aku bawa tulisan yang kamu minta. Bangun Rif, kamu nggak mau liat senja seperti kemarin sore? Nanti aku yang bawa susu kotak sama coklatnya. Kapan kita keliling Jakarta, kuliner bakso, makanan favorite kita. Rif, kamu denger aku bicara kan? Bangun Rif.”
“Nak Rara?”
“Iya bu, ibu siapa?”
“Saya ibunya Arif,.”
“Kok ibu tau saya Rara?”
“Arif nitip ini buat kamu sebelum dia kritis.”
“Surat?”
“Baca saja Nak.”
~Ra, aku sayang sama kamu, baik-baik ya. Aku sudah kirim surat buat senja, senja mau jagain kamu, baik-baik Ra. Terimakasih, aku bahagia mencintamu~
Tuhan, kenapa harus kau berikan aku ujian seperti ini? Dia juga menyukaiku Tuhan, dia mencintaiku, bangunkan dia, jangan kau ambil dia. Aku ingin menjaganya Tuhan.
“Rif, bangun..aku juga mencintaimu.”
Dokter, bangunkan dia, sembuhkan dia dok.
“Maaf nak, sepertinya dia bertahan sampai sekarang hanya karena menunggumu, dia sudah pergi.”
Nggak mungkin. Tuhan, mimpi buruk apa ini. Cubit aku Tuhan, ini hanya mimpi buruk.
Senja, aku mau baca suratnya Arif yang ditulis buat kamu. Mana? Aku mau baca. Aku sedih, aku sakit, kenapa harus berakhir seperti ini? Terimakasih untuk empat hari kemarin Rif, aku bahagia. Setiap ada pertemuan pasti juga ada perpisahan, ada semilir duka, tapi aku percaya ini takdir yang sudah Allah gariskan untuk kita. Selamat beristirahat bersama senja Rif , senja yang sama seperti kemarin. Tidur yang nyenyak Rif. Mimpi indah. Aku mencitaimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar